This site uses cookies.
Some of these cookies are essential to the operation of the site,
while others help to improve your experience by providing insights into how the site is being used.
For more information, please see the ProZ.com privacy policy.
This person has a SecurePRO™ card. Because this person is not a ProZ.com Plus subscriber, to view his or her SecurePRO™ card you must be a ProZ.com Business member or Plus subscriber.
Keanggotaan
This person is not affiliated with any business or Blue Board record at ProZ.com.
Indonesia ke Inggris: Kontroversi ‘Jalan-Jalan’ Wartawan General field: Seni/Sastra Detailed field: Jurnalisme
Teks sumber - Indonesia Kontroversi ‘Jalan-Jalan’ Wartawan
09 Juli 2007
Oleh Budisantoso Budiman
Jurnalis, Ketua Majelis Etik Aliansi Jurnalis Independen/AJI Kota Bandarlampung
PROGRAM ”jalan-jalan” (travelling) ke Malaysia dan Singapura serta paket ibadah umrah ke Makkah yang ditawarkan Pemprov Lampung kepada wartawan (jurnalis) memicu kontroversi berkaitan indikasi pelanggaran prinsip kaidah dan etika jurnalistik, serta patut tidaknya wartawan menerima ’’hadiah” yang boleh jadi dibiayai uang rakyat tersebut.
Perdebatan atas kontroversi tersebut sebenarnya tidaklah penting kalau semua pihak mengkajinya berdasarkan hati nurani serta sikap rasional-empatik dan tidak mengedepankan arogansi. Dasar penyikapannya pun cukup terang. Bukankah wartawan dan institusi pers dengan pemprov maupun gubernur Lampung dalam porsi kelembagaan adalah institusi berbeda? Keduanya memiliki fungsi, peran, dan tanggung jawab berlainan.
Pemprov dengan gubernur Lampung sebagai penanggung jawab utama berkewajiban melaksanakan pembangunan dan melayani publik dengan optimal tanpa kecuali. Tapi pers dan wartawan bertugas dan berperan menjadi ’’wakil masyarakat’’ yang mengemban amanat sebagai sarana pemberi informasi (to inform), mendidik (to educate), menghibur (to entertaint), maupun menjalankan kritik dan kontrol sosial (to criticize) sebagai pengawas (watchdog) pelaksanaan pembangunan agar tidak menyeleweng dan benar-benar berarti bagi publik.
Idealnya, hubungan kemitraan atau pun kerja sama yang dibangun di antara institusi pemerintah daerah (pemda) dengan pers bukan yang dapat meminimalkan atau mengintervensi satu sama lain. Tapi saling ’’menghormati” fungsi dan peran masing-masing sehingga pemprov, gubernur, serta jajarannya bisa menjalankan tugas dan fungsinya secara optimal, serta pers juga tetap dapat mengemban tugasnya dengan baik.
Karena itu, wajar kalau tawaran jalan-jalan ke luar negeri dan paket umrah bagi wartawan dikritisi. Apakah latarbelakangnya didorong tujuan ”negatif” sehingga memengaruhi independensi pers yang bebas dan merdeka di Lampung dalam menjalani tugasnya–termasuk membeberkan penyimpangan korupsi serta mengkritik pemerintah daerah?
Apalagi sebagian besar para wartawan di Lampung tidak bisa menutup mata bahwa hingga saat ini masih cukup besar dan banyak masalah pembangunan serta persoalan kemasyarakatan yang dihadapi warga Lampung dalam berbagai bidang. Seperti pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosial, budaya, kesenian, serta lainnya.
Artinya pula, dengan anggaran daerah–asumsinya dana untuk jalan-jalan dan umrah diambilkan dari APBD Lampung–yang tersedot untuk para wartawan (diperkirakan mencapai ratusan juta rupiah hingga mendekati satu miliar rupiah)–akan mengurangi pos anggaran untuk kepentingan masyarakat Lampung lain yang lebih memerlukannya.
Tidak perlu berandai-andai. Tapi sekiranya dana tersebut benar-benar digunakan langsung menyentuh kepentingan publik seperti beasiswa anak yang tidak mampu, berapa anak di Lampung yang bisa terbantu? Satu anak saja, kalau dia kebetulan berotak encer–tapi gagal bersekolah tinggi akibat keluarganya miskin–dibantu dengan dana tersebut, akan bisa terus belajar hingga lulus perguruan tinggi. Pastinya, ia akan siap mencurahkan ilmunya untuk daerahnya yang telah membiayai sekolahnya hingga rampung.
Berapa banyak pula balita terbantu mendapatkan susu—belakangan semakin mahal–dan tidak mengalami gizi buruk karena hanya bisa mengonsumsi air tajin atau teh manis saja.
Kalau pun telah diputuskan pemprov akan membantu ’’pemberdayaan dan peningkatan wawasan” bagi wartawan di daerahnya, program itu semestinya bukan prioritas mengingat efektivitas dan tanggung jawab itu seharusnya ada pada institusi media tempat wartawan bekerja atau organisasi pers tempat mereka bernaung. Lagipula, prioritasnya bukan ”jalan-jalan”, tapi membenahi manajemen, memperkuat dukungan finansial, serta penguatan kapasitas SDM pengelola pers di Lampung.
Pemda (yang baik) memang harus ikut bertanggung jawab terhadap kondisi pers di daerahnya. Namun hendaknya dapat mengerti aturan main serta etika di lingkungan pers. Sehingga, niat yang baik (lagi terpuji) itu justru tidak menjadi bumerang baik bagi pemda maupun wartawan, organisasi pers dan media massa, yang akan menjadi ”tumpul”, ”kurang independen”, dan ”tidak bebas serta merdeka” lagi menjalankan fungsi kritik dan kontrol sosial yang mesti diemban.
Apalagi, belakangan ini, menjadi keprihatinan kita semua, kian banyak orang mengaku dan berpenampilan layaknya wartawan profesional: menggunakan rompi, membawa kamera, catatan kecil (notes), alat tulis, topi, dan sejumlah atribut khusus kewartawanan lainnya termasuk ID Card sebagai wartawan.
Boleh jadi, akan lebih banyak lagi para wartawan dan oknum pekerja pers (wartawan betulan atau yang mengaku-aku wartawan), menjadi sasaran umpatan, sumpah serapah, caci maki dan kemarahan para kepala sekolah dan guru, camat dan kepala desa, maupun pejabat, pengusaha, tokoh masyarakat, dan pihak lain yang telah dirugikan akibat ulahnya yang tidak terpuji serta jauh dari sikap seorang jurnalis profesional.
Namun apa lacur? Di antara mereka itu, sebenarnya tidak jelas latarbelakang dan kemampuannya dalam tulis-menulis (jurnalistik). Bahkan tidak sedikit hanya berbekal kartu wartawan (kartu pers), kendati media tempatnya bernaung tidak pernah diterbitkan atau sudah lama tidak terbit lagi. Bagi mereka, agaknya tidak lagi penting apakah bisa dan tetap menulis atau medianya masih terbit atau tidak.
Paling penting menyandang predikat wartawan karena dengan itu leluasa bergerak, berhubungan banyak orang, termasuk mendapatkan uang dan fasilitas yang diinginkan dengan berbagai cara serta mendapatkan ”hadiah” jalan-jalan ke luar negeri atau umrah dengan uang rakyat.
Padahal sesuai Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 (UU Pers), wartawan adalah mereka yang sehari-hari secara rutin melakukan aktivitas jurnalistik, yaitu mencari, mengumpulkan, menuliskan atau menyiarkan tulisan, gambar, foto, artikel/feature, maupun produk jurnalistik lainnya untuk dipublikasikan secara luas kepada masyarakat melalui media massa (cetak, elektronik, kantor berita, internet). Wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik baik bersifat terikat maupun tidak terikat pada usaha pers (freelance/penulis/kolumnis/fotografer lepas).
Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik (mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi) baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik, maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
Hari-hari belakangan ini, kiprah para wartawan atau jurnalis di Lampung kerap ditingkahi perilaku ”aneh-aneh” para pekerja pers itu, sehingga menjadi sorotan miring publik dan juga ikut diberitakan media massa di daerah ini.
Beberapa oknum wartawan itu, di antaranya terlibat tindak pidana atau kriminalitas cukup serius: memerkosa, memeras, kasus pencabulan atau pelecehan seks, serta kasus memalukan lainnya.
Padahal profesi wartawan memerlukan tanggung jawab dan kematangan dan ikut berperan membentuk pendapat umum, sehingga memiliki ”nama baik” dan bobot dalam masyarakat. Sebenarnya tidaklah bisa semua orang bisa menjadi wartawan.
Wartawan itu harus memahami profesinya dengan baik supaya dapat bertindak profesional dan tidak menimbulkan masalah akibat perilaku yang salah atau produk jurnalistik yang dihasilkan tidak benar dan menyesatkan.
Wartawan juga seharusnya bekerja dengan dasar pendidikan, pelatihan, dan pengalaman yang memadai, serta mematuhi kode etik. Standar kompetensi wartawan mestinya memiliki rasa ingin tahu tinggi, kematangan dan tanggung jawab, pengetahuan umum luas, kreatif, sabar dan persisten/teruji mental, berani, adil, jujur, dan berintegritas, berpikir independen, dan berusaha mencari jawaban kondisi yang dialami atau dilihat menyangkut kepentingan masyarakat.
Jadi, sebenarnya kontroversi program umrah dan jalan-jalan ke luar negeri yang ditawarkan pemprov/gubernur Lampung kepada para wartawan di sini, kalau mengacu kepada pemaparan gamblang di atas, semestinya tidak perlu lagi diperdebatkan benar atau tidak benar, dapat diikuti atau tidak.
Namun, semuanya berpulang kepada pilihan wartawan dan institusi pers bersangkutan, termasuk penilaian publik terhadap institusi pers dan para wartawan serta organisasi pers di sini: mana yang masih terjaga integritas, independensi, dan sikap profesionalnya, serta mana yang telah ”menggadaikannya” dengan mengatasnamakan pers serta predikat kewartawanan. Penulis yakin, publik akan cermat, cerdas, serta sangat bijaksana untuk menilai dan memilah-milahnya tanpa pretensi apa pun. (*)
Penerjemahan - Inggris The Travelling Journalist Controversy
09 July 2007
By Budisantoso Budiman
Journalist, Head of Independent Alliance of Journalists Ethics Management / Bandarlampung
Travel programs to Malaysia and Singapore and pilgramage packages to Mecca offered to journalists by the Lampung Government are creating controversy connected to the indication of a violation of journalisim principals and ethics, and uncertainty about journalists recieving “gifts” that may be public payments .
The debate about this controversy is not really important if all sides consider this practice is based on pureness of heart and a rational-empathy outlook and not to settle arrogancy. The basic position is then clear enough. Isn’t the journalist and press separate from the Lampung government and governor within a different institutional section? The two have different functions, roles, and responsibilities.
The Lampung government as their main responsibility hold an obligation to development and to serve the public to the optimum without exception. But the press and the journalist have the task and role of “representative of society” who execute the message as a media to inform, to educate, to entertain, and to criticize, as a watchdog of development quite without deviation and truly signifying the public.
Ideally, the partnership or cooperation built between the regional government and the press does not minimize or interrupt one another. Rather each “respects” the function and role of the other so that both the local government and press can perform optimally.
Because of that, is is natural if the offer to travel overseas and pilgramage pakage for journalists is criticised. Does the background push a negative aim so as to influence the independence of the press in Lampung in undertaking their task- including disclosing corruption and criticizing the regional government?
Moreover the large group of journalists in Lampung cannot close their eyes, as the people of Lampung still face many development problems and societal difficulties within various fields (such as education, health, economy, social, culture, art, and others).
This means then, with the regional estimate- the assumption of funds for travel and pilgramige given from APBD Lampung - which took in for journalists an estimated thousands of millions of rupiah until approaching one billion rupiah- will reduce the budjet for Lampung society interests to other more necessary interests.
There is no need to assume. But if the funds mentioned really are used directly to affect public interests such as scholarships for children without means, how many children in Lampung can be helped? Just one child, if s/he coincidently has intelligence- but fails to go to high school as a result of poverty in their family- helped with those funds, will be able to continue to study until they pass university(tertiary education). Certainly, s/he will be prepared to pour out their knowledge into their region which financed their schooling until finished.
Then, how many children under five can be helped to get milk- recently very expensive- and not experience a low wage because they can only consume just rice water or sweet tea?
If it is then already resolved the government will assist “effort and awareness
improvement” for journalists in the region, that program should not have been a priority to think of institutional effectiveness and responsibility to place a journalist or press organisation under protection.
Besides, their priority is not “travel”, but to put in order management, to strengthen financial aid, and process human resources capability press manager in Lampung.
Regional government (that is good) indeed must take responsibility for the condition of press in the region. However their intent can explain the rules of playing as ethics in the press environment. With the result that, good intention ( again praiseworthy) alone just does not become a good boomerang for regional government and journalists, press organisations and mass media, which will again become “dull”, “less independent”, and “not free” to continue their critical function and the social control which must be executed.
Let alone, besides this, to become the concern of us all, more and more people promise and have the appearance of the professional journalist: to wear a waistcoat, carry a camera, notes, pen, hat, and all special journalist attributes besides a journalists ID card.
Possibly, more journalists and press workers (journalists very near or who consider themselves journalists) will again abuse their purpose, to bring curses of all sorts, bad language and anger from school principals and teachers, assistant district officers and village officials, businessmen, societal figures, and other parties already suffering from the result of unpraiseworthy behaviour far from the attitude of a professional journalist.
However what is immoral? Among them background and journalistc ability is actually unclear. Not even a few have a press card, not to mention their media place is protected they have never published or already not published for a long time. For them, perhaps it is not important if their work is still published or not.
It is most important to carry the title of journalist because with that one is unhampered to move fromone place to another, to relate to many people, including receiving money and facilities desired in several ways such as recieving “gifts”, travel overseas, or pilgramage with public money.
In fact in accordance with Law Number 40 Year 1999 (Press Law), journalists are those who daily perform routine journalistic activities, that is to search for, to gather, to publish or broadcast writing, pictures, photos, articals/features, and other journalistic products for broad publication to society through mass media (print, electronic, news office, internet). Journalists are people who regularly carry out journalistic activity both tied and untied to the press business (freelance/writer/columist/free photographer).
The press is a social institutionn and mass communication vehicle that carries out journalistic activities (to find, manage, own, store, to process, and deliver information) both written, audio, sound and pictures, as data and graphics, and in other forms with the use of print media, electronic media, and all types of channels available.
Days later, groups of journalists or journalists in Lampung often protested the “strange”behaviour of those journalists, until the conception of a turning public and also participation in repoting mass media in this area.
Several of those journalists, were involved in crime or sufficiently serious criminality: rape, blackmail, cases of violation or sexual assult, as other shameful cases.
In fact the profession of journalism needs responsibility and maturity and to take the role formed by public opinion, until it owns a “good name” and value within society. Actually not all people can become a journalist.
The journalist must understand their profession well so that they can act professionally and not cause problems as a result of wrong behaviour or false and misleading journalism.
A journalist also should work with a basic education, practice, and sufficient experience, and follow the code of ethics. The standard competency of the journalist surely includes the desire to know more, maturity and responsibility, broad general knowledge, creativity, patience and persistance, courage, fairness, honesty, and integrity, independent thought, and to attempt to find answers to the conditions experienced or seen to relate to public interest.
So, actually the controversy of the pilgrimage and overseas travel program offered by Lampung government/governor to journalists here, if refer to the clear and understandable explaination above, should again not be necessary to debate if true or not, or can be taken or not.
However, everyone returns to the choice of journalist and press institution of concern, including public assessment towards press institutions and journalists along with press organisations here: where integrity, independence, and their professionality still is maintained, and who have already “secured themselves” with the use of one’s name as press and the title of journalism. The author is certain, public and accurate, intelligent, and very wise to appraise and separate without any pretence.
Indonesia ke Inggris: email to bank General field: Bisnis/Keuangan Detailed field: Keuangan (umum)
Teks sumber - Indonesia Terima kasih atas email yang anda sampaikan kepada kami dalam bahasa Indonesia dan saya sangat menghargainya.
Pada prinsipnya saya menginginkan Guaranty Trust Bank bertanggung jawab atas kejadian penipuan yang dilakukan oleh nasabah mereka yaitu Petro Coating Systems Pty CFX Ltd. Tanggung jawab yang saya inginkan dari Guaranty Trust Bank adalah bahwa Guaranty Trust Bank mengganti seluruh uang yang telah saya transfer kepada Petro Coating System Pty CFX Limited yaitu sebesar USD 103,969.29
Permintaan saya yang kedua kepada Ombudsman Financial Service agar GT Bank memberitahukan dengan jelas data perusahaan Petro Coating Systems Pty CFX Ltd yang meliputi nama dan alamat pemilik perusahaan tersebut sesuai pasport dan Identity Card, serta tanggal , waktu dan nama yang melakukan penarikan uang pada rekening nomor 22229-010 di Guaranty Trust Bank.
Saya ingin menanyakan juga kepada anda sebagai Ombudsman Financial Services yang bernaung dibawah Pemerintah UK bagaimana tanggung jawab Pemerintah UK terhadap GT Bank yang tidak dapat mengembalikan uang tersebut dengan alasan dana tidak mencukupi untuk ditransfer kembali, padahal sangat jelas bahwa nasabah mereka telah merugikan perusahaan saya sebesar USD 103,969.29 sebab uang tersebut berasal dari salah satu proyek Pemerintah Indonesia yang sedang saya laksanakan saat ini.
Mohon tanggapan dari anda.
Penerjemahan - Inggris Thank you for the email you sent to us in Indonesian, I really appreciate it.
On principle I want Guaranty Trust Bank to take responsibility for the deception by their customer Petro Coating Systems Pty CFX Ltd. The response I desire from Guaranty Trust Bank is that Guaranty Trust Bank replaces all money that I transferred to Petro Coating System Pty CFX Limited, which is a total of USD 103,969.29.
My second request is to the Financial Service Ombudsman so that GT Bank clearly report Petro Coating Systems Pty CFX Ltd business data covering the company owner’s name and address in accordance with the passport and current Identity Card. As well as the date, time and name on the money withdrawal to the account number 22229-010 in Guaranty Trust Bank.
I want to also ask you as Financial Services Ombudsman supervised under the UK Government how the UK Government responsible to GT Bank could not return this money on the basis of insufficient funds for transfer back. In fact it’s very clear that their customer caused a loss to my company of USD 103,969.29 because this money came from one of the Indonesian government projects that I carried out at this time.
Awaiting your reply
Indonesia ke Inggris: news article by Wimar Witoelar General field: Seni/Sastra Detailed field: Jurnalisme
Teks sumber - Indonesia PENGUSIRAN WARTAWAN, PERTAMA SEJAK ZAMAN SOEHARTO
Lindsay Murdoch tidak diizinkan melanjutkan pekerjaannya sebagai wartawan di Indonesia, mulai Maret ini. Dia adalah koresponden Sydney Morning Herald, koran utama Australia yang bepusat di Sydney. Tulisannya juga dimuat The Age, koran satu pemilik yang diterbitkan di Melbourne. Beberapa tulisan dia menggambarkan insiden kekerasan terhadap warga Indonesia oleh aparat Indonesia.
Sydney Morning Herald pernah terkenal zaman Soeharto waktu David Jenkins, wartawan senior mereka, menulis ekspose mengenai Soeharto dan kezalimannya. Waktu itu pemerintah Soeharto jelas-jelas menyebut Jenkins sebagai musuh Indonesia. Pemerintah Megawati sekarang lebih sopan, Deplu juga menekankan bahwa pemerintah Indonesia masih menghargai pers bebas. Memang belum tentu orang Deplu menginginkan tampilnya wajah keras yang kuno dari Indonesia pada saat dimana para diplomat sedang berusaha dengan keras untuk memenangkan hati masyarakat dunia dengan diplomasi yang profesional.
Pengusiran wartawan SMH jelas bukan kehendak orang-orang baik di Indonesia, orang-orang yang berjuang untuk masyarakat baru menggantikan sistem Soeharto. Pada waktu kita berjuang melawan Soeharto, wartawan seperti Lindsay Murdoch banyak memberikan tempat bagi tampilnya pemikiran reformis Indonesia.
Banyak kalangan pers yang mengenal pribadi Lindsay Murdoch ini. Yenny, putri Gus Dur, bekerja sebagai wartawan SMH sebelm Bapaknya menjadi Presiden. Pada waktu pemerintahan Abdurrahman Wahid, Lindsay Murdoch termasuk wartawan asing yang memberikan sorotan kritis terhadap perkembangan di Indonesia, tapi dengan selalu berpihak pada kebenaran dan demokrasi.
Lepas dari asalnya sebagai warga Australia, lepas dari peran pers asing di Indonesia, kita semua berkepentingan untuk menjaga kebebasan pers. Majalah seperti TEMPO malah mengagungkan kebebasan pers lebih dari segalanya. Kata Pemred Bambang Harymurti, "pers membela yang tertindas, dan menyerang yang kuat." Sekarang Lindsay melaporkan penindasan terhadap warga Indonesia oleh aparat yang masih menganut paham kekerasan, waktunya bagi pers untuk membela yang tertindas, dan menhyerang munculnya pemakaian kekuatan dalam pengendalian pers.
Bagi Orang Biasa, sudah bagus kalau kita mencatat dan memahami, bahwa munculnya pengekangan pers ini merupakan tanda, bahwa kemerdekaan pers harus dibela oleh opini publik, kalau para intelektual kita tidak cukup waktu untuk menambal kebocoran kapal demokrasi kita.
Penerjemahan - Inggris “The Eviction of a Journalist, the First since Soeharto’s Era”
As of March, Lindsey Murdoch has been forbidden to continue his work as a journalist in Indonesia. Murdoch is the Sydney correspondent for the ‘Morning Herald’, a primary Australian newspaper based in Sydney. Murdoch’s work can also be found in the Age, a paper which is published in Melbourne by the same owner. Several of his pieces, portrayed violent incidents towards Indonesian citizens, by the Indonesian military.
The Sydney Morning Herald was already well known from the Soeharto period, when David Jenkins, one of the Herald’s senior journalists, wrote an expose concerning Soeharto and his tyranny. As a result, the Soeharto Government labeled Jenkins as an enemy of Indonesia. Megawati’s government at present is more respectful, the Department of Foreign Affairs also stresses that the Indonesian government still appreciate the free press. Indeed, it is uncertain that the people working in the department of foreign affairs want to have that same old hard faced appearance, when currently the diplomats are trying to win the hearts of the world with professional diplomacy.
I am a qualified secondary teacher of Indonesian and History.
I completed a Bachelor of Arts/ Bachelor of Education at Monash University in 2009.
While at university, I achieved a distinction grade for the Intensive Language Program at Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
This program included the creation of my own mini newspaper in Bahasa Indonesia covering the fields of economy, journalism, law and the environment.